Alat Kesehatan Ini Dilarang di 3 Negara—Tapi Justru Laris di Indonesia!
Assistive Technology Partners – Di saat negara-negara maju menolak kehadirannya, alat ini justru merajai pasar di Indonesia. Fenomena ini mengejutkan banyak pihak, terutama kalangan medis. Bayangkan sebuah alat yang seharusnya memperbaiki kondisi kesehatan justru masuk daftar hitam di Jepang, Kanada, dan Jerman. Tapi di Indonesia, penjualannya melonjak tajam dalam waktu singkat. Apakah alat kesehatan ini benar-benar efektif, atau sekadar janji manis teknologi yang belum matang?
Kasus ini membuka kembali perdebatan soal regulasi dan kesadaran masyarakat terhadap keamanan alat medis. Mengapa alat kesehatan dilarang di negara maju, namun diterima dengan antusias di pasar lokal? Artikel ini akan mengulas secara mendalam fakta-fakta tersembunyi di balik popularitas alat kesehatan dilarang ini.
Yang sedang ramai dibicarakan adalah sebuah alat terapi saraf portabel bernama NeuroStim Pro-X. Alat ini diklaim mampu merangsang sistem saraf dan otot pasien dengan keluhan mobilitas rendah, terutama untuk penderita stroke dan disabilitas motorik ringan. Bentuknya mungil, bisa dioperasikan lewat aplikasi di ponsel, dan disebut-sebut sebagai “terapi praktis dari rumah.”
Namun, popularitas alat untuk kesehatan dilarang ini justru menjadi tanda tanya besar di dunia medis internasional. Di tiga negara—Jepang, Kanada, dan Jerman—alat ini secara resmi tidak boleh dijual. Bahkan, lembaga kesehatan mereka mengeluarkan peringatan keras terhadap penggunaannya.
Indonesia, dengan pasar kesehatan yang sangat luas dan berkembang, ternyata menjadi lahan subur. Penjualan NeuroStim Pro-X melejit di berbagai e-commerce dan platform digital lokal. Banyak testimoni dari pengguna yang menyatakan peningkatan mobilitas, pengurangan rasa kaku otot, hingga efek relaksasi setelah penggunaan rutin.
Sayangnya, masyarakat tidak menyadari bahwa alat kesehatan dilarang ini belum mendapat persetujuan BPOM sebagai alat terapi medis. Ini menjadi celah yang dimanfaatkan produsen dengan menjualnya sebagai alat “wellness” atau “pendukung terapi,” bukan alat pengobatan utama.
Kalangan medis di Indonesia mulai angkat bicara. Beberapa ahli neurologi dan fisioterapis memberi peringatan keras terhadap penggunaan alat kesehatan dilarang yang belum memiliki bukti ilmiah kuat. Mereka menyebut bahwa efek placebo sangat mungkin terjadi, sehingga pasien merasa sembuh meskipun sebenarnya tidak ada perubahan klinis signifikan.
Dr. Trias Nugroho, seorang ahli terapi saraf dari Jakarta, menjelaskan bahwa “alat ini dilarang seperti ini bisa memberi efek sesaat, tapi dalam jangka panjang berisiko memperparah kerusakan saraf jika digunakan tidak sesuai.”
Fakta menarik lainnya adalah bagaimana sistem regulasi di Indonesia memungkinkan alat kesehatan dilarang tetap masuk pasar. Dengan kategori “alat kebugaran” atau “terapi alternatif,” produk ini tidak melewati pengujian klinis seketat alat medis resmi. Ini tentu menimbulkan risiko jangka panjang terhadap keselamatan konsumen.
BPOM dan Kementerian Kesehatan memang telah mengeluarkan beberapa imbauan, tetapi belum ada tindakan nyata yang menghentikan distribusi alat kesehatan dilarang ini. Hal ini diperparah oleh promosi yang dilakukan oleh influencer kesehatan di media sosial, yang tidak selalu berdasarkan bukti medis.
Penggunaan alat kesehatan dilarang tanpa pengawasan medis bisa menimbulkan lebih banyak masalah. Beberapa pengguna dilaporkan mengalami kesemutan berlebihan, iritasi kulit, hingga gangguan irama jantung setelah menggunakan alat ini tanpa panduan yang tepat.
Sayangnya, sebagian besar konsumen lebih tergiur oleh harga dan kemudahan daripada melakukan riset terlebih dahulu.
Sampai artikel ini ditulis, pemerintah Indonesia masih memantau perkembangan penjualan alat ini dilarang tersebut. Beberapa organisasi profesi medis mulai mendesak adanya kajian ulang dan penerapan standar regulasi yang lebih ketat, termasuk pelabelan khusus untuk membedakan antara alat terapi resmi dan alternatif.
Bukan tidak mungkin dalam waktu dekat peralatan kesehatan dilarang ini akan ditarik dari pasaran jika terbukti menimbulkan risiko besar.
Popularitas peralatan kesehatan dilarang seharusnya tidak membuat kita gegabah. Setiap alat yang menyangkut kesehatan harus melalui proses validasi dan uji klinis yang ketat. Jangan sampai keinginan sembuh cepat justru membawa kerugian jangka panjang.
Bagi pengguna peralatan kesehatan dilarang seperti NeuroStim Pro-X, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu.
Kisah alat kesehatan dilarang yang justru laris di Indonesia membuka mata kita bahwa inovasi belum tentu aman. Penting untuk tetap rasional dan berpikir kritis dalam menerima teknologi medis baru. Peralatan kesehatan seharusnya membawa manfaat, bukan sekadar sensasi pasar.
Assistive Technology Partners - Teknologi asistif di Indonesia kini tak lagi dipandang sebelah mata. Baru-baru ini, sebuah terobosan membanggakan datang…
Assistive Technology Partners - Di tengah dominasi teknologi buatan luar negeri, kini muncul kabar yang mengguncang dunia: sebuah startup teknologi…
Assistive Technology Partners - Selama bertahun-tahun, menjelajahi kota menjadi tantangan besar bagi penyandang disabilitas. Mulai dari infrastruktur yang tidak ramah…
Assistive Technology Partners - Di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, kini hadir sebuah inovasi luar biasa yang dapat mengubah…
Assistive Technology Partners - Bayangkan bisa menerjemahkan gerakan tangan menjadi kata-kata lisan secara langsung. Itulah tepatnya yang dilakukan oleh inovasi…
Assistive Technology Partners - Di dunia di mana kemajuan medis semakin pesat, satu inovasi menonjol di atas yang lain: prostetik…